Minggu, 15 Maret 2015

Kota Perjuangan Itu Sudah 44 Tahun

Wartawan : Hikmat Israr - Kandidat Doktor Kebijakan Publik Unpas
Editor : Elsy
17 December 2014 12:36 WIB

Tanggal 14 Desember 2014 malam seorang kawan di Payakumbuh mengirim SMS ke saya “...Bikin dong artikel tentang Payakumbuh...” Entah terbius apa, saya yang sudah mulai jarang menulis artikel karena tengah menikmati menulis buku, tiba-tiba saja tergerak mau mengikuti perintah SMS tersebut, padahal malam telah beranjak larut, dan suhu Kota Bandung di mana saya berada mulai terasa dingin. Dengan berbekal secangkir kopi untuk mengusir rasa kantuk saya coba juga menulis secuil tentang Kota Payakumbuh yang saya tahu. 
Seingat saya, 17 Desember adalah tanggal yang bersejarah dan selalu dirayakan oleh masyarakat kota Payakumbuh, karena pada tanggal tersebut, tepatnya hari Kamis 17 Desember 1970 Menteri Dalam Negeri Amir Machmud sengaja datang ke Payakumbuh untuk menyatakan secara resmi di hadapan masyarakat Payakumbuh, bahwa sejak hari itu Kotamadya Payakumbuh resmi berdiri dengan wali kota pertamanya Drs. Soetan Oesman.
Pernyataan berdirinya kotamadya Payakumbuh tersebut diperkuat dengan keluarnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8/1970 tanggal 17 Desember 1970 yang menetapkan Payakumbuh sebagai kotamadya.
Kenapa saya ingat peristiwa tersebut? Bukan karena saya yang saat itu berusia 7 tahun sempat menghadirinya, tapi karena di rumah orangtua saya terpajang lukisan cat minyak yang lumayan besar menghiasi dinding. Lukisan itu menggambarkan peristiwa bersejarah pada saat kotamadya Payakumbuh diresmikan.
Antara lain di lukisan itu terdapat gambar bapak saya yang tengah menyerahkan cenderamata kepada Mendagri Amir Machmud, disaksikan Gubernur Sumbar Drs. Harun Zain. Kebetulan saat itu posisi bapak C.Israr adalah Ketua Panitia Realisasi Kotamadya Payakumbuh.
Tahun 2014 ini usia kota Payakumbuh genap sudah 44 tahun. Dalam rentang waktu yang relatif panjang tersebut potret wajah kota dan masyarakat Payakumbuh bila dibandingkan dengan saat awal berdiri sudah sangat jauh berubah, bahkan dapat dikatakan perubahan yang sangat signifikan.
Sehingga anak Payakumbuh yang merantau dan jarang pulang seperti halnya saya ini sering terkaget-kaget, di samping kagum juga dengan berbagai kemajuan pembangunan yang sudah dicapai kota Payakumbuh. Peran wali kota Payakumbuh dari masa ke masa tentu besar dalam membawa kemajuan tersebut.
Namun, dalam rasa bangga dan decak kagum menyaksikan kemajuan pembangunan tersebut, tak bisa dipungkiri bahwa ada yang membuat saya sedih; yang membuat saya merasa terasing di kota yang sedari kecil hingga remaja sarat dengan berbagai kenangan tersebut, di mana kenangan itu takkan mungkin terulang lagi, karena segalanya sudah banyak berubah.
Misalkan saja, semasa kecil dengan teman sebaya saya senang pergi ke stasiun kereta api di Parit Rantang, di rel kereta kami pernah menaruh paku besar untuk dilindas oleh kereta api, paku yang digilas tersebut kemudian kami jadikan pisau ukuran mini. Kami juga suka menaiki kereta api yang tengah “langsir” meskipun saya tidak pernah sekalipun naik kereta api meninggalkan Payakumbuh. Saya juga terkesan dengan aroma khas sisa batu bara habis digunakan yang banyak terbuang di lintasan kereta api. Kalau tidak salah saat itu kami menyebutnya, maaf, “cirik mak itam”.
Mungkin karena stasiun kereta api tersebut sudah ada sejak zaman Belanda, maka di samping bangunannya berkualitas dan kokoh, arsitekturnya juga bagus. Stasiun tersebut juga terkesan lapang serta indah terlihat dari kejauhan. Bangunan stasiun tersebut terkesan sangat menonjol, di samping karena di kiri-kanannya tidak ada bangunan lain, bangunan yang ada pada saat itupun relatif kecil dan sederhana.
Kini semua sudah berubah, entah sejak kapan, bantalan dan rel kereta yang terdapat di stasiun Payakumbuh tersebut telah berubah menjadi bangunan-bangunan menjulang tinggi.
Bangunan stasiun yang masih tersisa terjepit di antara ruko-ruko yang menjulang tersebut. Bila dulunya bangunan stasiun tersebut bagaikan primadona kota, kini telah berubah bagaikan merusak pemandangan kota, karena di antara bangunan-bangunan megah ada bangunan tua stasiun, buruk, terjepit, dan tak terawat. Oh, di mana kini stasiun megah tempat ku pernah bermain di masa kecil dulu?
Dalam kemajuan kota Payakumbuh yang signifikan dan membanggakan, sayangnya kita suka mengabaikan sejarah. Saya tidak tahu berapakah bangunan cagar budaya yang memiliki makna penting bagi kota ini mampu dipertahankan? Jangan-jangan sudah nyaris habis, dan yang tersisa hanyalah gereja katolik dan jembatan “Ratapan Ibu”, sementara yang lain sudah punah digilas roda pembangunan.
Bahkan jangan-jangan jembatan “Ratapan Ibu” di mana di bawah air terjun tempat saya dan kawan-kawan pernah mandi saat kecil dulu itupun suatu saat akan digusur, karena dianggap tidak lagi memadai dengan perkembangan kemajuan transportasi yang melewatinya.
Seminggu yang lalu, ketika Wali Kota Bandung Ridwan Kamil berpidato di depan orang Minang yang bermukim di Bandung. Di samping mengemukakan program kerjanya yang mengagumkan dan perlu mendapat acungan jempol, hal lainnya yang menarik adalah tentang sebutan kota Bandung yang ia ungkapkan. Yaitu, Bandung adalah Kota Perjuangan, Kota Pendidikan, dan Kota Tujuan Wisata.   
Kenapa Bandung disebut Kota Perjuangan? Menurut Ridwan Kamil karena di kota itu Soekarno pernah kuliah dan mengawali perjuangan untuk Kemerdekaan Indonesia.
Agar nilai-nilai perjuangan yang membawa semangat perubahan itu dapat dipertahankan dan diwariskan kepada generasi mendatang, maka Ridwan Kamil merasa perlu mencantumkan julukan Bandung sebagai kota perjuangan, di samping julukan kota pendidikan dan kota tujuan wisata yang memang sudah dapat dibuktikan kebenarannya.
Salah satu yang mendukung kota Bandung sebagai kota wisata, tentu karena ia tetap merawat dan mengabadikan gedung-gedung lama sebagai heritage dan tujuan wisata. Sehingga meskipun pembangunan menggeliat di kota Bandung, bangunan-bangunan bernilai sejarah tetap dipertahankan, dilestarikan.
Tekait dengan julukan “kota perjuangan” tersebut, saya teringat kota Payakumbuh yang sedari dulu juga telah menggunakan berbagai julukan. Mulai dari sebutan “kota batiah”, “kota idaman”, “kota wisata”, dan entah apa lagi. Seingat saya belum pernah Payakumbuh secara resmi dijuluki sebagai “kota perjuangan”, meskipun kota ini sesungguhnya sarat dengan perjuangan.
Setidaknya menurut cerita yang pernah diungkapkan oleh bapak saya H.C.Israr pada saya semasa kecil, di mana kebetulan beliau termasuk salah seorang di antara  pelaku sejarah di kota ini, terutama di era perjuangan, baik sebagai komandan batalyon lasykar  di tahun 1946 maupun sebagai komandan Pasukan Mobil Teras di tahun 1949, bahwa Payakumbuh ini adalah kota perjuangan.
Apa alasannya? Karena menurut beliau segala macam alat perjuangan itu memang terdapat di wilayah Payakumbuh dan sekitarnya. Misalnya bengkel persenjataan peninggalan Jepang yang cukup besar dan banyak jasanya untuk perjuangan, terdapat di Kubugadang, bahkan bengkel ini sempat merakit pesawat terbang, namun dalam tahap uji coba serdadu Belanda keburu datang, sehingga pesawat berikut bengkel senjata terpaksa dimusnahkan dan dibumihanguskan.  
Markas batalyon Singa Harau di samping kompleks Kantor Bupati lama, markas batalyon ini juga dibumihanguskan agar tidak digunakan Belanda. Nasib yang sama juga dialami Gonjonglimo sebagai pusat pemerintahan di kota ini. Saat itu markas AURI terdapat di Piobang, Markas ALRI ada juga di Payakumbuh, tapi saya lupa persisnya dulu di mana beliau sebutkan, markas aktivis dan mahasiswa pejuang di TC, dll.
Adapun peristiwa sejarah perjuangan di daerah ini tak kalah heroik dari daerah lainnya, bahkan melebihi daerah-daerah lain pada umumnya, antara lain terbentuknya PDRI di Halaban, peristiwa gugurnya para pahlawan di Situjuh, gugurnya para pejuang ditembak Belanda di jembatan Batang Agam, serangan umum merebut kota Payakumbuh, dll.
Dengan berbagai argumen tersebut, bapak H.C.Israr semasa hidupnya pernah meminta Pemda Kota Payakumbuh untuk memberi julukan Payakumbuh sebagai “Kota Perjuangan”, akan tetapi permintaan tersebut belum mendapat tanggapan positif sehingga belum kunjung terealisasikan.
Terkait dengan momentum HUT Payakumbuh yang ke-44 ini, sebagai anak negeri yang mencintai kampung halaman, saya berharap kiranya pembangunan kota Payakumbuh ke depan tidak menghilangkan nilai-nilai sejarah, terutama sejarah perjuangan yang pernah diukir di kota ini, dalam turut menyelamatkan Indonesia dari keinginan pihak kolonialis untuk menjajahnya kembali.
Mari kita bangun kota Payakumbuh dengan tetap menyisakan bangunan-bangunan tua saksi bisu sejarah bahwa kota ini pernah punya jasa besar selama perang kemerdekaan. Bukan hanya menyisakan, tapi menatanya, sehingga elok dipandang mata dan diminati turis untuk mengunjunginya.
Akhirnya, meskipun belum menjadi visi Pemda Kota Payakumbuh, izinkanlah saya mengucapkan “Dirgahayu Kota Perjuangan Payakumbuh, semoga tetap jaya”. (*)

1 komentar:

  1. Assalamualaikum pak, saya tertarik dengan tulisan bapak mengenai kota Payakumbuh. Apa bapak masih aktif menulis ?

    BalasHapus