Minggu, 15 Maret 2015

Training College Payakumbuh, Riwayatnya Dulu dan Kini

20 Tahun Mati Suri, Mencoba Bangkit lagi
Dikenal sebagai perguruan tinggi pertama di Luak Limopuluah, Training College Payakumbuh, tak ubahnya bak kerakap tumbuh di batu; hidup segan, mati pun tak mau. Kini, setelah 20 tahun mati suri, lembaga pendidikan yang usianya lebih tua dari republik ini, mencoba bangkit lagi. Perlu dipapah bersama agar kejayaan itu kembali datang!
Sebuah surat elektronik dikirim Letkol CAJ Drs Hikmat Israr MM, putra Luak Limopuluah yang bertugas di Dinas Sejarah TNI Angkatan Darat kepada Padang Ekspres, Minggu (12/10) lalu. Dalam suratnya, Letkol Ajudan Jenderal itu menulis panjang-lebar soal ”Aktivasi Training College Payakumbuh”, sebuah upaya yang diyakininya bisa mambangkik batang tarandam (mengulang kejayaan). 
Training College adalah perguruan tinggi pertama di Luak Limopuluah (sebutan bagi Payakumbuh dan Limapuluh Kota). Dibentuk 5 Februari 1935 oleh H Zainuddin Hamidy, H Abdul Hamid Sa’ady, Syarbaini St Kayo, H Darwis Dt Tumangguang, H Fachrudin HS Dt Majo Indo, Syahbuddin, dan sejumlah tokoh lain, perguruan ini awalnya bernama Kulliatul Muallimin.
Tidak lama kemudian, Kulliatul Muallimi berganti nama menjadi Training College Payakumbuh. Yaitu, pendidikan setingkat perguruan tinggi dengan pimpinan pertama Haji Nasharuddin Thaha, alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, yang pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Urusan Agama Sumatera Tengah.
Saat dibentuk, Training College (selanjutnya ditulis TC), merupakan satu-satunya perguruan tinggi di Luak Limopuluah yang lahir sebelum Indonesia merdeka. ”Kelahiran TC, tidak hanya menampung siswa tamatan Thawalib,  Diniyah, dan madrasah setingkat di Luak Limopuluah. Tapi juga dari berbagai wilayah lain di Minangkabau,” tulis Letkol Hikmat Israr.
Begitu dilahirkan, tukuk Hikmat Israr, TC langsung disambut masyarakat. Sehingga, berkembang pesat. Bahkan, punya gedung sendiri. Kini, gedung bernilai sejarah itu masih berdiri di Jalan Arisun Nomor 51, Kelurahan Labuahbaru, Payakumbuh, persisnya di depan Masjid Muslimin.
Selain punya gedung, TC di awal berdiri, punya banyak dosen: makhluk yang sungguh langka pada zaman itu. Di antara dosen TC adalah, H Nasharuddin Thaha, H Zainuddin Hamidy, H Rusli A Wahid, H Ilyas Moh Ali, Arisun St. Alamsyah, Iskandar Teja Sukmana, Raden Syahmud, Muchtar Siregar SH, Widya Latif, Mr Harun Al Rasyid, Lukman Siregar, dan Abdul Latif. 
Mereka tidak hanya membekali mahasiswa dengan ilmu agama yang dalam, tapi juga mengajarkan bahasa Inggris, bahasa Arab, dan perbedaan tiap Agama (pluralisme). Paling spektakuler, para tenaga pengajar di TC, mendoktrin para mahasiswanya dengan nilai-nilai pendidikan karakter dan rasa cinta tanah air.
”Alhasil, mereka yang digembleng di TC pada zaman itu menjadi anak muda militan, sekaligus kritis terhadap Kolonial Belanda yang saat itu sudah menduduki wilayah Payakumbuh dan Limapuluh Kota. Kondisi ini, terang saja, membuat Belanda menjadi panas-dingin,” kata Hikmat Israr yang sudah menulis banyak buku sejarah.
Saking panas-dinginnya, tukuk Hikmat Israr, Belanda pada 1937 menghadapkan pengurus TC ke Landrat atau pengadilan kolonial. Mereka dituduh menghasut mahasiswa mengganggu ketentraman umum. Tapi, tuduhan itu tak membuat pengurus TC gentar. Mereka justru makin ’radikal’, sekaligus berjuang mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
Saat Belanda hengkang dan Jepang masuk, TC membekali mahasiswanya dengan pendidikan militer, seperti Seinendan dan Gyu Gun. Bertahun kemudian, pelatihan militer ini seakan menjadi pisau bermata dua. Tidak hanya bagi Jepang, tapi juga Belanda yang kembali bernafsu menguasai Indonesia, lewat Agresi ke-II, 1948-1949.
Buktinya, pengurus TC yang terlibat aktif dalam memproklamirkan kemerdekaan Indonesia di Payakumbuh dan Limapuluh Kota, mendorong mahasiswa atau alumni TC yang sudah mengikuti pendidikan militer, untuk mendirikan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang merupakan cikal-bakal Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Tentara Nasional Indoesia (TNI). 
BKR yang didirikan itu, kelak dinamai sebagai Batalyon Singa Harau, dengan pimpinan pertama Mayor Makinudin HS, putra Situjuah Limo Nagari,  Limapuluh Kota. Selain itu, didirikan pula, Laskar Sabilillah dipimpin Mayor HC Israr. Kedua batalyon ini, secara bergilir dikirim ke Front Padang Area, untuk memerangi tentara Belanda.
Selepas Agresi II Belanda, para pengurus TC diminta mengisi kemerdekaan. Dengan mengemban jabatan strategis di sejumlah instansi pemerintahan. Mulai dari menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Sumatera Tengah, Panglima Militer Sumbar, Menteri Veteran, Bupati, hingga Wedana Militer. Ini tentu menguntungkan bagi keberadaan TC. 
Sayang, kemajuan TC pascakemerdekaan Indonesia itu tidak bertahan lama. Pada 1958, seiring terjadinya pergolakan di daerah, TC kembali mengalami stagnasi. Ini terjadi karena pengurusnya yang resah melihat Presiden Soekarno saat itu dekat dengan komunis dan pembangunan pusat-daerah mengalami ketimpangan, ikut aktif dalam gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). 
Alhasil, setelah PRRI beserta gagasan ”Otonomi Daerah” yang diusung para tokohnya diberangus rezim Orde Lama, TC pun ikut kena getahnya. Gedung TC di Labuahbaruah diambil alih militer. Dijadikan asrama ABRI. Baru pada 1976, gedung itu dikembalikan kepada TC, setelah salah seorang alumninya, yakni HC Israr yang termasuk tokoh pendiri Kota Payakumbuh, membangun komunikasi dengan Pangdam III/17 Agustus.
Setelah dikembalikan kepada TC, HC Israr kemudian mengajak teman-temannya, seperti Buya Iskandar Zulkarnain, Buya Arius Syaiki, Amiruddin Hamidy, Habibun Najar, Dawanin Mansyur, Syahidar Nurdin dll, untuk menghidupkan kembali perguruan itu, dengan membentuk yayasan. Ada pun Yayasan TC ini terbentuk 18 September 1976.
Setelah yayasan terbentuk, TC kembali mengalami kemajuan. Bahkan, pada 5 Februari 1977 kembali menjadi Perguruan Tinggi Islam yang aktif. Hanya saja, kematian sejumlah pengurus beberapa tahun kemudian, membuat TC hanya bisa bertahan sampai 1984. Setelah itu, TC mati suri. Gedungnya dipinjamkan ke Universitas Muhammadiyah Sumbar (UMSB),  Raudhatul Jannah, dan sejumlah organisasi seperti PPI maupun PGTK/PGSD.
Pada 2008, muncul lagi wacana untuk menghidupkan TC. Diawali dengan merubah anggaran dasar yayasan dan membentuk kepengurusan baru, TC mencuri perhatian publik, dengan merancang sejumlah kursus, ceramah-ceramah, diskusi, research dan sebagainya. ”Akan tetapi, rancangan itu hanya sebatas wacana. Aktivitas TC, kembali fakum,” ujar Letkol Hikmat Israr.
Atas kondisi itulah, Letkol Hikmat Isar sejak awal Januari 2014, mulai menggagas aktivasi TC, sebagai upaya mambangkik Batang Tarandam. Bersama sejumlah tokoh, Hikmat Israr sejak Oktober lalu, mulai menggelar pelatihan khatib dan imam di gedung TC. Sedangkan November ini, bakal digelar pelatihan jurnalistik. Disusul pelatihan kewirausahaan, seni baca Al Quran dan pelatihan kepemimpinan.
”Selanjutnya, kita berencana menjadikan jadikan TC sebagai Forum Keilmuan dan Kemasyarakatan, sekaligus wadah berkumpul cendekiawan Payakumbuh dan Limapuluh Kota, untuk memberikan sumbangan pemikiran buat kedua  daerah. Jika ini berhasil, baru kita dirikan kembali perguruan tinggi, seperti cita-cita pendiri TC. Untuk itu, kami mohon dukungan semua pihak,” kata Letkol Hikmat Israr. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar