Jumat, 03 April 2015

Resensi Buku

Hikmat Israr Menyusun Nan Taserak

Judul
:
Nan Taserak, Seputar Tambo dan Perjuangan Rakyat Lima Puluh Kota
Penulis
:
Hikmat Israr
Penerbit
:
Budaya Media Bandung
Edisi
:
Ke-II (cetak ulang) Tahun 2015
Hal
:
xiv + 154



       Buku yang mengupas tentang Kabupaten Lima Puluh Kota relatif masih langka, meskipun Luhak Nan Bungsu itu menyimpan banyak sejarah dan kaya akan peristiwa-peristiwa penting.  Daerah ini juga telah melahirkan banyak tokoh-tokoh yang telah mengukir sejarah yang menentukan perjalanan bangsa yang dikenal di tingkat lokal dan Nasional, tapi juga belum banyak yang dituliskan biografinya.  Salah seorang yang sangat peduli dengan sejarah Luhak Lima Puluh Kota ini adalah Hikmat Israr, anak rang Payakumbuh asli yang kini berkarir sebagai prajurit TNI-AD di Dinas Sejarah Angkatan Darat (Disjarahad) Bandung dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel.  Kimat panggilan akrabnya, yang lahir dan dibesarkan di Kota Batiah, telah menuliskan sebuah buku sejarah Lima Puluh Kota yang berjudul Nan Taserak.  Maksudnya buku ini telah menyatukan seputar tambo dan perjuangan rakyat yang selama ini tercerai berai letaknya.
       Buku ini pertama kali diterbitkan pada 2009 yang mengupas secara lugas tentang berbagai hal di daerah tersebut.  Penulisnya mengupas tentang asal usul masyarakat Lima Puluh Kota versi tambo dan versi-versi lainnya.  Kemudian dibahas pula asal mula masuknya agama Islam dan sejarah tentang Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang terjadi di Lima Puluh Kota.  Secara runut penulisnya juga mengupas tentang Lima Puluh Kota di era Perang Paderi, era penjajahan Belanda, era penjajahan Jepang dan masa awal kemerdekaan tahun 1945.  Menariknya buku ini disajikan dengan gaya bahasa yang santai, ringan sehingga enak dibaca.  Banyak berita dan catatan sejarah yang tercantum, juga ada beberapa foto, gambar dan dokumen-dokumen tertulis sehingga pembaca jadi kaya informasi.
       Ternyata Hikmat Israr yang telah mengikuti beberapa kali operasi TNI-AD, yaitu dua kali di Timor-Timur, Aceh dan Ambon ini adalah seorang penulis handal.  Kimat telah menulis lebih dari dua puluh buah buku, terutama buku-buku biografi para jenderal, kisah di medan perang serta pengalamannya selama mengikuti kegiatan operasi TNI-AD.  Di samping itu Hikmat yang pernah bertugas di Kostrad, Kodam Siliwangi dan Kodam Patimura juga pernah bertugas di Dinas Pembinaan Mental Angkatan Darat (Disbintalad) sehingga banyak pengalaman yang bisa dituangkannya dalamtulisan dan buku.

       Buku Nan Taserak ini juga mengupas terbentuknya BKR dan TNI di Lima Puluh Kota, juga tentang terbentuknya Barisan Sabilillah dan sejarah perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di daerah tersebut.  Maka buku ini perlu dibaca dan dimiliki oleh seluruh pelajar, mahasiswa, para pejabat, ASN, pengurus organisasi, wali nagari dan bahkan oleh seluruh masyarakat Kabupaten Luhak Nan Bungsu.  Apabila ingin tahu banyak tentang Lima Puluh Kota, maka bacalah buku ini !  Akhirnya akan timbul rasa sayang dan cinta terhadap daerah ini.  (Alfian Jamrah).  

Letkol Hikmat Israr Siap jadi Bupati

31 March 2015 11:07 WIB - Sumber : Fajar Rilah Vesky - Padang Ekspres - Editor : Riyon


Walau tahapan Pilkada Limapuluh Kota 2015 belum diketahui, karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat, masih menunggu pengesahan 10 jenis Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (PKPU-RI).
Namun, eskalasi politik di daerah itu terus menghangat. Para tokoh yang berminat menjadi kandidat bupati atau wakil bupati, makin gencar  membangun komunikasi dengan partai politik.
Terakhir (28/3) lalu, seorang tokoh rantau yang bertugas di Dinas Sejarah TNI-AD bernama Letkol CAJ Hikmat Israr, mendatangi kantor DPD PAN Limapuluh Kota di kawasan Tanjuangpati. Pria kelahiran Kotokociak, Nagari VII Koto Talago, Kecamatan Guguak, 2 Mei 1963 ini, datang ke kantor DPD PAN, untuk melengkapi formulir pendaftarannya sebagai bakal calon bupati.
Kepada Padang Ekspres, Hikmat Israr yang merupakan putera kandung HC Israr (ketua DPRD pertama Limapuluh Kota dan pendiri Kota Payakumbuh), mengaku sudah beberapa kali pilkada, ditawari untuk pulang kampung turut membangun negeri.
Namun, baru dalam Pilkada 2015 ini, ia merasa mantap untuk ikut berkompetisi. 
”Saya merasa, keinginan untuk mengabdikan diri bagi kampung halaman, sudah tepat masanya untuk diwujudkan. Mumpung, tenaga masih kuat dan dan belum terlanjur tua,” kata alumni MAN 2 Payakumbuh dan UIN Syarif Hidayatullah ini. Hikmat menyebut, untuk menjadikan Limapuluh Kota ke arah lebih baik, harus dengan bekerja keras, kreatif dan berani berinovasi. 
”Bila tidak, Limapuluh Kota bukannya maju, bisa-bisa daerah dan masyarakatnya akan semakin terpuruk nasibnya,” kata doktor bidang kebijakan publik yang tercatat sebagai penulis buku berjudul. “Nantaserak, Seputar Tambo & Perjuangan Rakyat Limapuluh Kota” tersebut. 
Hikmat Israr mengimbau, siapa pun anak nagari Luak Nan Bungsu di ranah atau di rantau yang mau peduli bagi kemajuan kampung halamannya, dan yang merasa mampu dan mau diberi amanah yang tidak ringan untuk bekerja keras membangun kampung halaman, agar ikut serta mengikuti pilkada.
”Karena semakin banyak yang ikut, akan terlihat siapa yang boneh dan dirasa paling pas untuk figur kepala daerah 5 tahun ke depan,” ujarnya. (*)


Minggu, 15 Maret 2015

Ops Maluku: Catatan Seorang Prajurit Di Daerah Konflik Ambon


4.0 of 5 stars 4.00 
Cerita pribadi Kapten (waktu itu) Hikmat Israr selama bertugas di Ambon ketika kerusuhan agama terjadi di sana. Kapten Israr mulai bertugas saat kloter terakhir Laskar Jihad memasuki Ambon (tak lama setelah Markas Brimob Tantui dijarah) hingga Perjanjian Malino II.

Kota Perjuangan Itu Sudah 44 Tahun

Wartawan : Hikmat Israr - Kandidat Doktor Kebijakan Publik Unpas
Editor : Elsy
17 December 2014 12:36 WIB

Tanggal 14 Desember 2014 malam seorang kawan di Payakumbuh mengirim SMS ke saya “...Bikin dong artikel tentang Payakumbuh...” Entah terbius apa, saya yang sudah mulai jarang menulis artikel karena tengah menikmati menulis buku, tiba-tiba saja tergerak mau mengikuti perintah SMS tersebut, padahal malam telah beranjak larut, dan suhu Kota Bandung di mana saya berada mulai terasa dingin. Dengan berbekal secangkir kopi untuk mengusir rasa kantuk saya coba juga menulis secuil tentang Kota Payakumbuh yang saya tahu. 
Seingat saya, 17 Desember adalah tanggal yang bersejarah dan selalu dirayakan oleh masyarakat kota Payakumbuh, karena pada tanggal tersebut, tepatnya hari Kamis 17 Desember 1970 Menteri Dalam Negeri Amir Machmud sengaja datang ke Payakumbuh untuk menyatakan secara resmi di hadapan masyarakat Payakumbuh, bahwa sejak hari itu Kotamadya Payakumbuh resmi berdiri dengan wali kota pertamanya Drs. Soetan Oesman.
Pernyataan berdirinya kotamadya Payakumbuh tersebut diperkuat dengan keluarnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8/1970 tanggal 17 Desember 1970 yang menetapkan Payakumbuh sebagai kotamadya.
Kenapa saya ingat peristiwa tersebut? Bukan karena saya yang saat itu berusia 7 tahun sempat menghadirinya, tapi karena di rumah orangtua saya terpajang lukisan cat minyak yang lumayan besar menghiasi dinding. Lukisan itu menggambarkan peristiwa bersejarah pada saat kotamadya Payakumbuh diresmikan.
Antara lain di lukisan itu terdapat gambar bapak saya yang tengah menyerahkan cenderamata kepada Mendagri Amir Machmud, disaksikan Gubernur Sumbar Drs. Harun Zain. Kebetulan saat itu posisi bapak C.Israr adalah Ketua Panitia Realisasi Kotamadya Payakumbuh.
Tahun 2014 ini usia kota Payakumbuh genap sudah 44 tahun. Dalam rentang waktu yang relatif panjang tersebut potret wajah kota dan masyarakat Payakumbuh bila dibandingkan dengan saat awal berdiri sudah sangat jauh berubah, bahkan dapat dikatakan perubahan yang sangat signifikan.
Sehingga anak Payakumbuh yang merantau dan jarang pulang seperti halnya saya ini sering terkaget-kaget, di samping kagum juga dengan berbagai kemajuan pembangunan yang sudah dicapai kota Payakumbuh. Peran wali kota Payakumbuh dari masa ke masa tentu besar dalam membawa kemajuan tersebut.
Namun, dalam rasa bangga dan decak kagum menyaksikan kemajuan pembangunan tersebut, tak bisa dipungkiri bahwa ada yang membuat saya sedih; yang membuat saya merasa terasing di kota yang sedari kecil hingga remaja sarat dengan berbagai kenangan tersebut, di mana kenangan itu takkan mungkin terulang lagi, karena segalanya sudah banyak berubah.
Misalkan saja, semasa kecil dengan teman sebaya saya senang pergi ke stasiun kereta api di Parit Rantang, di rel kereta kami pernah menaruh paku besar untuk dilindas oleh kereta api, paku yang digilas tersebut kemudian kami jadikan pisau ukuran mini. Kami juga suka menaiki kereta api yang tengah “langsir” meskipun saya tidak pernah sekalipun naik kereta api meninggalkan Payakumbuh. Saya juga terkesan dengan aroma khas sisa batu bara habis digunakan yang banyak terbuang di lintasan kereta api. Kalau tidak salah saat itu kami menyebutnya, maaf, “cirik mak itam”.
Mungkin karena stasiun kereta api tersebut sudah ada sejak zaman Belanda, maka di samping bangunannya berkualitas dan kokoh, arsitekturnya juga bagus. Stasiun tersebut juga terkesan lapang serta indah terlihat dari kejauhan. Bangunan stasiun tersebut terkesan sangat menonjol, di samping karena di kiri-kanannya tidak ada bangunan lain, bangunan yang ada pada saat itupun relatif kecil dan sederhana.
Kini semua sudah berubah, entah sejak kapan, bantalan dan rel kereta yang terdapat di stasiun Payakumbuh tersebut telah berubah menjadi bangunan-bangunan menjulang tinggi.
Bangunan stasiun yang masih tersisa terjepit di antara ruko-ruko yang menjulang tersebut. Bila dulunya bangunan stasiun tersebut bagaikan primadona kota, kini telah berubah bagaikan merusak pemandangan kota, karena di antara bangunan-bangunan megah ada bangunan tua stasiun, buruk, terjepit, dan tak terawat. Oh, di mana kini stasiun megah tempat ku pernah bermain di masa kecil dulu?
Dalam kemajuan kota Payakumbuh yang signifikan dan membanggakan, sayangnya kita suka mengabaikan sejarah. Saya tidak tahu berapakah bangunan cagar budaya yang memiliki makna penting bagi kota ini mampu dipertahankan? Jangan-jangan sudah nyaris habis, dan yang tersisa hanyalah gereja katolik dan jembatan “Ratapan Ibu”, sementara yang lain sudah punah digilas roda pembangunan.
Bahkan jangan-jangan jembatan “Ratapan Ibu” di mana di bawah air terjun tempat saya dan kawan-kawan pernah mandi saat kecil dulu itupun suatu saat akan digusur, karena dianggap tidak lagi memadai dengan perkembangan kemajuan transportasi yang melewatinya.
Seminggu yang lalu, ketika Wali Kota Bandung Ridwan Kamil berpidato di depan orang Minang yang bermukim di Bandung. Di samping mengemukakan program kerjanya yang mengagumkan dan perlu mendapat acungan jempol, hal lainnya yang menarik adalah tentang sebutan kota Bandung yang ia ungkapkan. Yaitu, Bandung adalah Kota Perjuangan, Kota Pendidikan, dan Kota Tujuan Wisata.   
Kenapa Bandung disebut Kota Perjuangan? Menurut Ridwan Kamil karena di kota itu Soekarno pernah kuliah dan mengawali perjuangan untuk Kemerdekaan Indonesia.
Agar nilai-nilai perjuangan yang membawa semangat perubahan itu dapat dipertahankan dan diwariskan kepada generasi mendatang, maka Ridwan Kamil merasa perlu mencantumkan julukan Bandung sebagai kota perjuangan, di samping julukan kota pendidikan dan kota tujuan wisata yang memang sudah dapat dibuktikan kebenarannya.
Salah satu yang mendukung kota Bandung sebagai kota wisata, tentu karena ia tetap merawat dan mengabadikan gedung-gedung lama sebagai heritage dan tujuan wisata. Sehingga meskipun pembangunan menggeliat di kota Bandung, bangunan-bangunan bernilai sejarah tetap dipertahankan, dilestarikan.
Tekait dengan julukan “kota perjuangan” tersebut, saya teringat kota Payakumbuh yang sedari dulu juga telah menggunakan berbagai julukan. Mulai dari sebutan “kota batiah”, “kota idaman”, “kota wisata”, dan entah apa lagi. Seingat saya belum pernah Payakumbuh secara resmi dijuluki sebagai “kota perjuangan”, meskipun kota ini sesungguhnya sarat dengan perjuangan.
Setidaknya menurut cerita yang pernah diungkapkan oleh bapak saya H.C.Israr pada saya semasa kecil, di mana kebetulan beliau termasuk salah seorang di antara  pelaku sejarah di kota ini, terutama di era perjuangan, baik sebagai komandan batalyon lasykar  di tahun 1946 maupun sebagai komandan Pasukan Mobil Teras di tahun 1949, bahwa Payakumbuh ini adalah kota perjuangan.
Apa alasannya? Karena menurut beliau segala macam alat perjuangan itu memang terdapat di wilayah Payakumbuh dan sekitarnya. Misalnya bengkel persenjataan peninggalan Jepang yang cukup besar dan banyak jasanya untuk perjuangan, terdapat di Kubugadang, bahkan bengkel ini sempat merakit pesawat terbang, namun dalam tahap uji coba serdadu Belanda keburu datang, sehingga pesawat berikut bengkel senjata terpaksa dimusnahkan dan dibumihanguskan.  
Markas batalyon Singa Harau di samping kompleks Kantor Bupati lama, markas batalyon ini juga dibumihanguskan agar tidak digunakan Belanda. Nasib yang sama juga dialami Gonjonglimo sebagai pusat pemerintahan di kota ini. Saat itu markas AURI terdapat di Piobang, Markas ALRI ada juga di Payakumbuh, tapi saya lupa persisnya dulu di mana beliau sebutkan, markas aktivis dan mahasiswa pejuang di TC, dll.
Adapun peristiwa sejarah perjuangan di daerah ini tak kalah heroik dari daerah lainnya, bahkan melebihi daerah-daerah lain pada umumnya, antara lain terbentuknya PDRI di Halaban, peristiwa gugurnya para pahlawan di Situjuh, gugurnya para pejuang ditembak Belanda di jembatan Batang Agam, serangan umum merebut kota Payakumbuh, dll.
Dengan berbagai argumen tersebut, bapak H.C.Israr semasa hidupnya pernah meminta Pemda Kota Payakumbuh untuk memberi julukan Payakumbuh sebagai “Kota Perjuangan”, akan tetapi permintaan tersebut belum mendapat tanggapan positif sehingga belum kunjung terealisasikan.
Terkait dengan momentum HUT Payakumbuh yang ke-44 ini, sebagai anak negeri yang mencintai kampung halaman, saya berharap kiranya pembangunan kota Payakumbuh ke depan tidak menghilangkan nilai-nilai sejarah, terutama sejarah perjuangan yang pernah diukir di kota ini, dalam turut menyelamatkan Indonesia dari keinginan pihak kolonialis untuk menjajahnya kembali.
Mari kita bangun kota Payakumbuh dengan tetap menyisakan bangunan-bangunan tua saksi bisu sejarah bahwa kota ini pernah punya jasa besar selama perang kemerdekaan. Bukan hanya menyisakan, tapi menatanya, sehingga elok dipandang mata dan diminati turis untuk mengunjunginya.
Akhirnya, meskipun belum menjadi visi Pemda Kota Payakumbuh, izinkanlah saya mengucapkan “Dirgahayu Kota Perjuangan Payakumbuh, semoga tetap jaya”. (*)

Training College Payakumbuh, Riwayatnya Dulu dan Kini

20 Tahun Mati Suri, Mencoba Bangkit lagi
Dikenal sebagai perguruan tinggi pertama di Luak Limopuluah, Training College Payakumbuh, tak ubahnya bak kerakap tumbuh di batu; hidup segan, mati pun tak mau. Kini, setelah 20 tahun mati suri, lembaga pendidikan yang usianya lebih tua dari republik ini, mencoba bangkit lagi. Perlu dipapah bersama agar kejayaan itu kembali datang!
Sebuah surat elektronik dikirim Letkol CAJ Drs Hikmat Israr MM, putra Luak Limopuluah yang bertugas di Dinas Sejarah TNI Angkatan Darat kepada Padang Ekspres, Minggu (12/10) lalu. Dalam suratnya, Letkol Ajudan Jenderal itu menulis panjang-lebar soal ”Aktivasi Training College Payakumbuh”, sebuah upaya yang diyakininya bisa mambangkik batang tarandam (mengulang kejayaan). 
Training College adalah perguruan tinggi pertama di Luak Limopuluah (sebutan bagi Payakumbuh dan Limapuluh Kota). Dibentuk 5 Februari 1935 oleh H Zainuddin Hamidy, H Abdul Hamid Sa’ady, Syarbaini St Kayo, H Darwis Dt Tumangguang, H Fachrudin HS Dt Majo Indo, Syahbuddin, dan sejumlah tokoh lain, perguruan ini awalnya bernama Kulliatul Muallimin.
Tidak lama kemudian, Kulliatul Muallimi berganti nama menjadi Training College Payakumbuh. Yaitu, pendidikan setingkat perguruan tinggi dengan pimpinan pertama Haji Nasharuddin Thaha, alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, yang pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Urusan Agama Sumatera Tengah.
Saat dibentuk, Training College (selanjutnya ditulis TC), merupakan satu-satunya perguruan tinggi di Luak Limopuluah yang lahir sebelum Indonesia merdeka. ”Kelahiran TC, tidak hanya menampung siswa tamatan Thawalib,  Diniyah, dan madrasah setingkat di Luak Limopuluah. Tapi juga dari berbagai wilayah lain di Minangkabau,” tulis Letkol Hikmat Israr.
Begitu dilahirkan, tukuk Hikmat Israr, TC langsung disambut masyarakat. Sehingga, berkembang pesat. Bahkan, punya gedung sendiri. Kini, gedung bernilai sejarah itu masih berdiri di Jalan Arisun Nomor 51, Kelurahan Labuahbaru, Payakumbuh, persisnya di depan Masjid Muslimin.
Selain punya gedung, TC di awal berdiri, punya banyak dosen: makhluk yang sungguh langka pada zaman itu. Di antara dosen TC adalah, H Nasharuddin Thaha, H Zainuddin Hamidy, H Rusli A Wahid, H Ilyas Moh Ali, Arisun St. Alamsyah, Iskandar Teja Sukmana, Raden Syahmud, Muchtar Siregar SH, Widya Latif, Mr Harun Al Rasyid, Lukman Siregar, dan Abdul Latif. 
Mereka tidak hanya membekali mahasiswa dengan ilmu agama yang dalam, tapi juga mengajarkan bahasa Inggris, bahasa Arab, dan perbedaan tiap Agama (pluralisme). Paling spektakuler, para tenaga pengajar di TC, mendoktrin para mahasiswanya dengan nilai-nilai pendidikan karakter dan rasa cinta tanah air.
”Alhasil, mereka yang digembleng di TC pada zaman itu menjadi anak muda militan, sekaligus kritis terhadap Kolonial Belanda yang saat itu sudah menduduki wilayah Payakumbuh dan Limapuluh Kota. Kondisi ini, terang saja, membuat Belanda menjadi panas-dingin,” kata Hikmat Israr yang sudah menulis banyak buku sejarah.
Saking panas-dinginnya, tukuk Hikmat Israr, Belanda pada 1937 menghadapkan pengurus TC ke Landrat atau pengadilan kolonial. Mereka dituduh menghasut mahasiswa mengganggu ketentraman umum. Tapi, tuduhan itu tak membuat pengurus TC gentar. Mereka justru makin ’radikal’, sekaligus berjuang mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
Saat Belanda hengkang dan Jepang masuk, TC membekali mahasiswanya dengan pendidikan militer, seperti Seinendan dan Gyu Gun. Bertahun kemudian, pelatihan militer ini seakan menjadi pisau bermata dua. Tidak hanya bagi Jepang, tapi juga Belanda yang kembali bernafsu menguasai Indonesia, lewat Agresi ke-II, 1948-1949.
Buktinya, pengurus TC yang terlibat aktif dalam memproklamirkan kemerdekaan Indonesia di Payakumbuh dan Limapuluh Kota, mendorong mahasiswa atau alumni TC yang sudah mengikuti pendidikan militer, untuk mendirikan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang merupakan cikal-bakal Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Tentara Nasional Indoesia (TNI). 
BKR yang didirikan itu, kelak dinamai sebagai Batalyon Singa Harau, dengan pimpinan pertama Mayor Makinudin HS, putra Situjuah Limo Nagari,  Limapuluh Kota. Selain itu, didirikan pula, Laskar Sabilillah dipimpin Mayor HC Israr. Kedua batalyon ini, secara bergilir dikirim ke Front Padang Area, untuk memerangi tentara Belanda.
Selepas Agresi II Belanda, para pengurus TC diminta mengisi kemerdekaan. Dengan mengemban jabatan strategis di sejumlah instansi pemerintahan. Mulai dari menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Sumatera Tengah, Panglima Militer Sumbar, Menteri Veteran, Bupati, hingga Wedana Militer. Ini tentu menguntungkan bagi keberadaan TC. 
Sayang, kemajuan TC pascakemerdekaan Indonesia itu tidak bertahan lama. Pada 1958, seiring terjadinya pergolakan di daerah, TC kembali mengalami stagnasi. Ini terjadi karena pengurusnya yang resah melihat Presiden Soekarno saat itu dekat dengan komunis dan pembangunan pusat-daerah mengalami ketimpangan, ikut aktif dalam gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). 
Alhasil, setelah PRRI beserta gagasan ”Otonomi Daerah” yang diusung para tokohnya diberangus rezim Orde Lama, TC pun ikut kena getahnya. Gedung TC di Labuahbaruah diambil alih militer. Dijadikan asrama ABRI. Baru pada 1976, gedung itu dikembalikan kepada TC, setelah salah seorang alumninya, yakni HC Israr yang termasuk tokoh pendiri Kota Payakumbuh, membangun komunikasi dengan Pangdam III/17 Agustus.
Setelah dikembalikan kepada TC, HC Israr kemudian mengajak teman-temannya, seperti Buya Iskandar Zulkarnain, Buya Arius Syaiki, Amiruddin Hamidy, Habibun Najar, Dawanin Mansyur, Syahidar Nurdin dll, untuk menghidupkan kembali perguruan itu, dengan membentuk yayasan. Ada pun Yayasan TC ini terbentuk 18 September 1976.
Setelah yayasan terbentuk, TC kembali mengalami kemajuan. Bahkan, pada 5 Februari 1977 kembali menjadi Perguruan Tinggi Islam yang aktif. Hanya saja, kematian sejumlah pengurus beberapa tahun kemudian, membuat TC hanya bisa bertahan sampai 1984. Setelah itu, TC mati suri. Gedungnya dipinjamkan ke Universitas Muhammadiyah Sumbar (UMSB),  Raudhatul Jannah, dan sejumlah organisasi seperti PPI maupun PGTK/PGSD.
Pada 2008, muncul lagi wacana untuk menghidupkan TC. Diawali dengan merubah anggaran dasar yayasan dan membentuk kepengurusan baru, TC mencuri perhatian publik, dengan merancang sejumlah kursus, ceramah-ceramah, diskusi, research dan sebagainya. ”Akan tetapi, rancangan itu hanya sebatas wacana. Aktivitas TC, kembali fakum,” ujar Letkol Hikmat Israr.
Atas kondisi itulah, Letkol Hikmat Isar sejak awal Januari 2014, mulai menggagas aktivasi TC, sebagai upaya mambangkik Batang Tarandam. Bersama sejumlah tokoh, Hikmat Israr sejak Oktober lalu, mulai menggelar pelatihan khatib dan imam di gedung TC. Sedangkan November ini, bakal digelar pelatihan jurnalistik. Disusul pelatihan kewirausahaan, seni baca Al Quran dan pelatihan kepemimpinan.
”Selanjutnya, kita berencana menjadikan jadikan TC sebagai Forum Keilmuan dan Kemasyarakatan, sekaligus wadah berkumpul cendekiawan Payakumbuh dan Limapuluh Kota, untuk memberikan sumbangan pemikiran buat kedua  daerah. Jika ini berhasil, baru kita dirikan kembali perguruan tinggi, seperti cita-cita pendiri TC. Untuk itu, kami mohon dukungan semua pihak,” kata Letkol Hikmat Israr. (*)